28 Juli 2010

TERUSLAH MELANGKAH

Comments
Oleh: Ahmad Cell


Cerita ini diangkat dari kisah nyata**, tentang semangat besar seorang anak manusia dalam berjuang menggapai impian dengan segala kekurangan.....
KRIIIIING….KRIIIING…., Suara bel berbunyi dengan nyaringnya, membuyarkan mimpi indahku yang tengah kulalui. Ada sedikit rasa dongkol dihatiku setiap mendengar suara bel pengomando para santri itu. Bagiku bukanlah brisiknya yang membuyarkan tiap mimpiku, Tapi karena suaranya yang seakan membuat jantungku hampir copot. Jujur selama hampir tiga tahun aku mondok di Darul Huda hanya suara bel itulah satu-satunya yang paling kubenci. Ingin rasanya kumusnahkan barang kecil pembuat gaduh itu.
Tapi kalo dipikir-pikir ada gunanya juga sih bel itu. Buktinya aku bisa sholat subuh berjamaah tepat waktu meskipun kadang-kadang telat juga sih. Abis, setelah dioprak-oprak oleh peribadatan aku lanjut tidur lagi ya jadinya telat dong.
Ah, sudah! berhenti membahas bel pembuat gaduh itu kita beralih ke cerita lain, pagi ini aku agak malas untuk membuka mata karena tadi malam habis begadang sama tim ngopiku sampai jam 02.30 bayangpun boss. Nggak biasanya lagi aku tidur sampe jam segitu, ya maklumlah karena ini hari jum’at dan malamnya juga tidak ada kegiatan setelah acara Dzibaan di masjid setelah itu free cuy. Oke lanjut, meskipun berat kucoba membuka mataku ini, sambil menahan perut yang terasa diaduk-aduk ini bukan karena kebelet, tapi ya beginilah efek samping dari Over dosis ngopi dan begadang sampe larut malam. Rasanya mau ambruk aja aku sekarang, tapi kucoba untuk memaksakan diriku untuk mengambil air wudhu. Tapi, ya seperti biasanya ngantri duluu, maklum santri, sabar antri, tapi pagi ini antrian nggak sebanyak hari-hari biasanya. Entah kenapa setiap hari jum’at pagi yang namanya antrian wudhu pasti sepi. Kalau berdasarkan surveiku, ini karena para santri masih klenger habis begadang dan menganggap hari jum’at hari yang bebas segalanya. Tapi itu cuma prediksi aja coy, kembali ke pikiran utama. Setelah selesai wudhu aku kembali ke kamar untuk ganti kostum (He….he….kayak pemain bola aja).
“lailaha illa anta subkhaanaka inni kuntu minnadzzoolimin….” Suara pujian khas dari Pak De begitulah julukan buat muadzin yang juga teman sekelasku itu masih terdengar sayup-sayup menandakan kalau aku belum telat. Karena kalau sampai telat wah tau sendiri deh diapain sama kang peribadatan. Kulangkahkan kakiku dengan mantap ke masjid untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah. Setelah sholat subuh aku kembali ke kamarku lalu kusempatkan untuk membaca Al-Qur’an sedangkan sebagiam teman-temanku sudah kembali klenger boss, mungkin pelampiasan kali.
Selesai baca Al-Qur’an aku ikut nimbrung sama teman-temanku yang kelihatannya lagi asyik ngobrol di sisi pojok kamar. “Man, kamu mau lanjut kemana setelah ini?”Tanya Maksum pada Rohman yang tidak langsung menjawab pertanyaan tadi.
“Mbuh lah Sum, aku masih bingung nih mau ke mana abis aku masih kelas tiga sih jadi yo eman-eman klo mesti pindah tapi aku yo pengen kuliah lho ki boss”
“Lha bapak ibumu maunya gimana Man” tanyaku menyela obrolan.
“Nah itu Mad masalahnya, bapakku pengennya aku di sini aja, tapi ibuku malah suruh kuliah aja. Wah bingung deh aku jadinya” jawab Rohman bingung. Memang seluruh teman-teman di kamarku kini duduk di kelas XII Madarasah Aliyah, jadi wajar jika hampir tiapa hari yang di bicakan Cuma masalah kuliah. Tapi ada yang agak beda dari teman-temanku yang lain, Ya, dialah Ali anak asli Lamongan yang lebih memilih untuk mondok saja daripada kuliah bukan karena orang tuanya nggak mampu atau tidak boleh tapi karena dia memang lebih suka mondok. "Sekarang tuh dah akhir zaman cah wong-wong wes podo lali karo agomo, nah maka dari itu aku pengen mondok aja. Karena kalo aku perhatiin pondok ini udah mulai berkurang salafnya. Bayangpun sekolah pagi dijatah dari jam tujuh ampe jam setengah satu. Dua belas jam lebih bro. nah sorenya?, Cuma dua jam aja cuy. Jadi ya kalah sama modernnya tho" begitulah argumennya.
"Lha kowe piye Mad?, katanya mau Kuliah ke Jogja jadi nggak?" tiba-tiba pertanyaan dari Maksum membuyarkan lamunanku tentang Ali. "Oh, aku?, gimana ya aku juga bingung nih. Abis kayaknya bapak ibuku kurang setuju deh kalo aku kuliah, mereka bilang mending ditenani le mondok ae, gitu kata mereka" jawabku santai.
"Ah masalah kuliah itu urusan nanti sekarang kita mikirnya bagimana caranya biar bisa suksen UN besok. Dan sekarang berhubung nasi dah datang ayo kita sarapan" cletuk Arifin di sela-sela obrolan kami. Dan halaqoh obrolan pagi inipun bubar dengan sendirinya.
Kalau dipikir aku sudah lima tahun lebih berpisah dari orang tuaku di Sumatra, rasanya sudah cukup lama sekali aku meninggalkan tanah kelahiranku di sana. Walaupun sudah selama itu aku di Ponorogo, tapi aku menyandang status santri baru Dua tahun karena ketika di MTs aku ikut nenekku. Jadi ketika dihadapkan dengan pilihan boyong atau mondok aku jadi bingung. Di satu sisi hatiku ingin tetap di sini karena rasanya masih banyak ilmu yang belum kudapat, namun di sisi lain aku rasanya juga pengen boyong atau paling tidak, kuliah di tempat lain Jogja atau Surabaya gitu. Inilah yang sekarang menjadi dilema besar di hatiku kini. Lebih-lebih kalau ingat dawuh dari Al-Magfurlah Kh. Hasyim Sholeh bahwa siapapun belum diakui sebagai alumni Pon.Pes Darul Huda kalau belum tamat sekolah sorenya atau MMH. Itulah rasanya yang membuatku selalu merasa bingung menentukan ke mana akan kuarahkan masa depanku. Tapi aku mencoba untuk menenangkan pikiran dan hatiku dengan berusaha sungguh-sunggh belajar, apalagi sekarang aku sudah duduk di kelas XII Madarasah Aliyah.
Waktu terus berjalan tak terasa kini aku sudah dua bulan aku menjadi penghuni Kelas XII SI 3, atau yang lebih dikenal dengan Program Keagamaan. Mungkin istilah program SI hanya ada di sini saja. Walaupun program ini sangat jarang atau langka bahkan di Indonesia semua bisa di hitung dengan jari, tapi aku tetap bangga bahkan banget gitu lho... “Yang langka itu malah banyak yang nyari” begitulah yang dikatakan oleh Ustadz Saiphul memberikan kami semangat. Terus terang aku merasa sangat bangga berada di kelas dengan program keagamaan seperti ini. Selain karena aku memang lebih menyukai bidang Studi yang behubungan dengan agama, juga karena notabene semua keluarga dan saudara-saudaraku lebih menitikberatkan pada pendidikan agama. Aku merasa menemukan jiwaku yang sesungguhnya di sini, apalagi ketika mempelajari bidang studi Ilmu Tafsir dan Ushul Fiqih. Ketika mempelajari keduanya aku merasa jadi the real SI people. Wah jadi ngelantur nich boss…, kita lanjut ya, oke seperti biasa menjelang bulan Ramadhan kegiatan belajar mengajar diliburkan dua atau tiga hari. Hari pertama bulan ramadhan kegiatan dipondok dialihkan menjadi pengajian kitab setiap ba’da shubuh, ba’da dzuhur, ba’da ashar dan ba’da tarawih. Sementara kegiatan di sekolah pagi MTs maupun MA di persingkat dan setelah kegiatan belajar mengajar diadakan pengajian kitab juga. Wah rasanya tiap hari Cuma disibukkin ama yang namanya kitab-kitab, tapi asyik juga lhoo.., yang kayak gini nggak ada di sekolah umum coy ya nggak?.
Tidak terasa sudah memasuki hari ke empat belas berarti acara Pondok Ramadahn di pondok tinggal enam hari lagi. Wah jadi deg degan nih rasanya pengen segera mudik boss…, maklum selama acara Pondok Ramadhan para santri nggak boleh pulang dengan alasan apapun kecuali sakit. Seperti menjadi kebiasaan tiap menjelang H-7 libur teman-teman di kelasku mulai menyusun pleaning-pleaning mereka ketik libur panjang nanti. Mulai dari yang biasa-biasa aja, aneh ampe yang gokil abis ada deh pokoknya, semua sudah disiapakan. Lain halnya denganku, aku lebih memilih untuk mudik ke rumah nenekku. Hari berjalan terasa begitu cepat, kini sudah memasuki hari ke Sembilan belas, “Wah wes ambu-ambune liburan ki cah” ujar Panjul panggilan akrab Somad anak asli Ponorogo ini.
“Gek yo nyapo nek ambune arep liburan. Emang kamu mau ngapain” timpal Maksum sambil membaca kitab yang baru saja ia kaji tadi pagi ba’da sholat shubuh. Panjul hanya merenges seperti tak berdosa “ Nek liburan yo biasane nyapo penake” ujarnya lagi. Aku hanya geleng-geleng kepela mendengarkan obrolan mereka yang penuh dengan perdebatan dan saling meledek soal liburan yang hanya tinggal menghitung hari saja. Waktu sudah menunjukkan pukul 13.15, aku bersiap-siap mengikuti pengajian kitab Fatkhul Majid. Terus terang diantara empat kitab pegajian Pondok Ramadan yang aku ikuti inilah yang paling kurasa sangat berat, selain karena pembahasannya adalah tauhid, juga karena waktunya pada waktu siang yang terasa cukup panas, ditambah lagi dengan mata yang rasannya kudu merem aja, perut lapar tenggorokan kering, kutanggung sendiri ( kaya lagu aja). So, wajar kalau setiap mengikuti pengajian yang diampu oleh ustadz Ihsanuddin ini kitabku selalu belang-belang alias banyak yang kosong cos, aku sering klenger di tengeh acara.
Tapi walaupun begitu ada juga yang aku suka dari pengajian Pondok Ramadhan ini, yup pas mengikuti pengajian kitab Adabul Muasyaroh, wah kalo yang ini gue baget cuy. Selain karena waktunya agak nyantai yang dilaksanakan pada waktu sore hari ba’da sholat ashar, juga karena ustadznya juga gerrrr banget, Pak Taufiq gitu. Di tambah kitabnya membahas tentang suami istri brooo...
Waktu yang dinanti-nanti para santri tiba juga, setelah acara penutupan Pondok Ramdhan paginya kegiatan pondok sudah diliburkan. Kesibukan santri yang akan pulang sudah mulai terlihat sejak sholat subuh selesai. Pukul 06.25 kendaraan baik sepeda motor maupun mobil sudah mulai memenuhi area pondok. Tampak santri-santri yang tengah menunggu kedatangan orang tuanya, adapula yang pulang bareng teman-teman yang lain alias rame-rame gitu...!. Di antara mereka yang menunggu ada aku yang tengah duduk di meja depan kantor keuangan yang biasa digunakan untuk jaga keamanan. Aku tengah menanti kedatangan Didi temanku yang menjemputku pagi ini. Lalu lalang santri yang pulang sudah tampak sangat ramai.
Lima menit.....sepuluh menit....lima belas...akhirnya dia datang juga wah lega rasanya, setelah cukup lama menungu dengan perasaan yang cukup jemuh atau bahasa gaulnya borring ( he..he.. gaul dikit boss). ” Suwi wes Mad, sori ya kalau rada telat tadi bantu ayahku ke sawah dulu” ujar Didi meminta maaf atas keerlambatannya seraya memberikan helm warna hitam padaku.
”Oh, belum lama kok. nggak apa-apa kok, ayo langsung go aja yuk” ajakku,setelah mengenakan helm.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima belas menit tibalah aku di rumah nenekku, suasana desa Sukosari tampak sepi sekali entah karena memang masih pagi atau yang lain, hanya keadan rumah nenekku yang masih tetap sama tak ada perubahan yang mencolok.
”Makasih ya Di, nih buat beli bensin” ujarku seraya menyodorkan uang sepuluh ribuan padanya.
”Ah, makasih Mad nggak usah repot-repot, biasa aja lagi. Aku balik dulu ya” tolaknya
”Oh, ya udah deh mampir dulu yuk”Ajakku. ”Makasih Mad aku masih ada kerjaan di rumah” tolaknya lagi, halus
”Ya udah makasih ya”
”aku balik dulu. Assalamualaikum” Didi mengucapkan salam seraya memebelokkan sepeda motor Honda Greennya.
”Waalaikumslam” jawabku kemudian membalikan tubuhku masuk ke rumah nenekku yang tampak masih sepi, oh ya aku baru ingat ini kan hari rabu wage kan hari pasaran yang jelas nenekku pasti lagi di pasar jam segini. Jelas saja rumah tampak sepi. Tak berapa lama, ”Eh, Ahmad wis mulih tho. Pondoknya sudah libur ya. Apa kabar?” ucap Pak De Mukhlis yang baru saja kembali dari kamar mandi,
”Eh, Pak De, baik. Ya Pak De sudah libur nih jawabku seraya menjabat tangannya. Pukul 12.00, nenekku baru pulang dari pasar, dia kelihatan lelah sekali itu aku tahu dari raut mukanya yang kelihatan letih. ”Asslamualaikum, Mad kapan pulang wis libur tho le?” tanya nenekku.
”Walaikumsalam, eh mbah tadi pagi mbah” jawabku. ”Ibu masih kerja tho Mbah. Kapan balinya?”tanyaku seraya menyaksikan acara TV di depanku.
”Yo urung tho le...le, lha wong kerja baru dua minngu kok kowe sudah nanya kapan baliknya” jawab nenek santai sambil menaruh sayur-mayur dagangannya.
”Ya nggak apa-apa sih mbah Kur takon ae lho” kilahku.
.............................................................................................
H-5 lebaran menjadi hari paling buruk bagiku, bagaimana tidak penantian dan kesetiaanku selama dua tahun lebih harus berakhir tragis. Memang selama waktu itu sengaja untuk menutup hatiku dari wanita manapun selain Anita pujaan hatiku selam ini. Ternyata semua sia-sia, bagaikan di hantam godam besar secara bertubi-tubi aku lemas tak berdaya kala ia mengatakan kalau hatinya sudah menjadi milik orang lain. ”Mungkin jawabanku nggak seperti yang kamu inginkan, nggka seperti yang kamu bayangkan Mad” kata-kata yang ia ucapkan tadi pagi itu masih jelas ada di ingatanku kini. ”Segampang itukah kamu melupakan aku, aku udah lama nunggu kamu. Bayangpun dua tahun lebih cuma buat kamu. Apa kamu nggak berfikir bagaimana perasaanku ketika kamu nerima dia” sebuah pertanyaan muncul dari dasar hatiku sesaat ia menceritakan bagaimana ia bisa kenal dengan keksasihnya kini, bagaimana proses jadian mereka.
”Ya sori banget Mad aku nggak mikir sampe ke situ” begitulah ia menjawab pertanyaanku, sebuah jawaban yang tak memusakan bagiku, yang takan menyembuhkan luka hati ini seketika. Bayangin boss, dua tahun lamanya aku setia tegar nggak tergoda oleh wanita manapun, dan kesetian itu harus sia-sia dalam waktu kurang dari lima menit. Keadaan semakin diperburuk ketika keinginanku untuk kuliah ditentang oleh ayahku. ”buat apa kuliah lihat tetangga kita mereka kuliah lama jadinya apa sekarang?, Cuma nganggur paling ya cuma ke kebun. Sudahlah nggak usah kuliah pondokya saja di selesaikan. Inget kalo kamu masih tanya soal kuliah lagi, pulang saja ke Sumatera” ancam ayahku dalam sambungan telepon. Lengkap sudah penderitaanku kali ini, sudah broken heart, nggak boleh kuliah lagi. Stress banget nih.
......................................................
AAAGHH....Rasanya aku menemui jalan buntu kini, rasanaya masa depanku bakal suram. Rasanya kesialan hanya menimpa diriku, wah pokoknya nggakk enak semua deh. Hari ini seminggu pasca Idul Fitri, aku masih seperti biasanya di kamar ya.. sekedar istirahat siang plus ngedem utek biar nggak tambah stress. Di tengah-tengeh istirahat siangku tiba-tiba ponselku berdering, karena akumerasa sangat malas, maka Pak De-ku yang mengambil alih tugas wajibku itu.
”Mad, kamu dicari nih dari temenmu” panggilnya
”Ehhh, mana?” tanyaku seraya menerim ponsel.
”Ya Halo asslamualaikum” ucapku malas sambil merem karena masih sangat ngantuk.
”Walaikumsalam, kamu Ahmad Zarqoni kan”tanyanya dengan suara yang sangat keras.
”Ya, ada apa ya?”tanyaku ola-olo.
”Eh, kamu anak SI 3 kan, temanmu yang ngambil paperku di Zhavo net siapa. Ngawur enanknya aja main ngambil. Eh Mad denger nggak sih” cecar lagi seakan tak memberiku waktu bicara.
”Eh, makasud kamu apaan sih aku nggak paham deh”tamya tambah ola-olo.
”Alah,nggak usah sok nggak tau deh, kata temenku Tia, anak kelasmu yang namanya Saifur ngambil paperku di sana. Dah deh nggak usah belagak nggak tau” seakan tak ada remnya lagi cewak tak kukenal itu terus mengintrogasiku layaknya maling jemuran (norak banget sich). Siapa lagi nih cewek kenal nggak pake nuduh yang nggak-nggak lagi, batinku kesal seketika rasa ngantukku menghilang mendengar ocehannya.”katanya mo dibalkkin abis lebaran di depan kantor, nyebelin bange sih” lanjutnya kemudian berhenti bicara (capek kalee).
”Dah? Cukup?”tanyaku kesal. ”Sudah apanya?”tanyanya balik
“Kamu udah selesai ngomelnya, udah rampung ngocehnya. Eh kamu siapa sih aku aja belum kenal. Lha kok menak men nelpon-nelpon langsung ngomel pake nuduh segala. Kamu siapa sih anak kelas apa?”tanayaku tegas.
”Aku Arini anak IPA 2. emang kenapa?” tanyanya angkuh.
”Oke Rin, dengerin ya. Yang namanya Syaifur tuh nggak ada di kelasku ataupun semua kelas SI putra, kamu tuh nyebelin banget sih nelpon langsung ngomelin orang. Aku aja nggak tau apa-apa kamu tuduh sembarangan. Dengerin ya sekali lagi yang namanya Syaifur nggak ada di kelasku” aku balik mengomelinya, malah lebih parah lagi.
”Eh, sory jangan marah ya. Abis aku panik sih, tadi Tia temenku bilang kalo paperku diambil anak SI 3 yang namanya Syaifur. Katanya suruh ngambil di depan kantor abis liburan” jawabnya keki.
’kamu kok oon banget sih, kudunya kamu malah seneng nerima paper sudah jadi, kalaupun kamu mau lapor madrasah ya tinggal lapor kan ngasihnya di depan kantor. Dan denger ya, sebenarnya dari dulu aku udah nggak suka ama anak IPA, tapi aku coba buat lupain itu. Jadi kamu jangan bikin aku tambah benci lagi ama anak IPA oke” kutegaskan pernyataanku untuk membungkan mulut lebarnya.
”Ya udah deh aku minta maaf, jangan marah ya”pintanya.
”Ya, ojo mbok baleni neh ngono kuwi” jawabku singkat.
”ngomong-ngomong kamu lagi ngapain nih”tanyanya basa-basi.
”Nih lagi tidur, tadi enak-enak istirahat, tau-tau ada telpon pake ngomel-ngomel nggak jelas lagi ” jawabku kurang respeck pada pertanyaan tadi.
”Hee...he...yo sori nek no. ya dah terusin tidurnya. Udah dulu ya sekali lagi sory banget. Asslamualaikum” ujarnya kemudian menutup panggilan.
”Ya, Wa’alaikumsalam”jawabku singkat. Ah ganggu orang aja, batinku. Dan kulanjutkan istirahat siangku lagi, dan berharap tak ada yang menggangguku lagi.
....................................................
Jam segini nganggur enaknya ngapain ya, ujarku dalam hati. Oh ya nelpon cewek aja iseng plus kali aja bisa nyambung. Tapi siapa ya, Siti, ah dia kan lagi sibuk bantu ibunya. Tari, udah masuk skolah karena dia anak MAN 2 Ponorogo. Siapa ya.. oh ya Arini aja anak nyebelin yang ganggu istirahatku kemarin. Kuambil ponselku setelah kupastikan kalau Talk Maniaku sudah on, kupencet nomor kemarin yang belum terhapus di pnggilan masuk di hp-ku. Tuuut....tuuut...tuuut, nada sambung ’sepert yang dulu’alias jadul masih melantun dengan mulusnya.
”Assalamualaikum, Ahmad ya” suara lembut menyapku di seberang sana tak seperti yang kemarin siang. Hampi saja aku terbuai.
”Waalaikumsalam, Rin lagi nagapain nih” tanyaku bas-basi, kata-kata itu seakan menjadi pertanyaan wajib tiap aku nelpon tau sms siapapun.
”Nih lagi bantu nenekku buat tempe, lha kamu sendiri ?, Oh ya Mad yang kemarin sori ya. Kamu nggak marah kan?” ujarnya meminta maaf lagi padaku.
”Oh, ya nggak apa-apa. Nih aku lagi nonton TV. Kamu kok bisa tau namaku dari mana?, akau aja baru kenal kamu kemarin”tanyaku ingin tahu.
”Iya dong siapa lagi yang nggak kenal sama mantan ketua OSIS MTs Sukosari. Kamu kenalkan ama Sinta, dia kan sekamar ama aku. Dia banyak cerita tentang kamu ke aku” jelasnya panjang lebar.
”Oh...gitu tapi itukan tiga tahun yang lalu biasa aja kok. Eh kamu di rumah ama siapa?” tanyaku lagi. ”Sama nenek dan kakak” jawabnya ringkas.
”Lha Ibu dan Bapakmu?”
”Mereka dah pisah”
”lha yang ngurusin sekolah kamu siapa” tanyaku semakin ingin tahu
”Ibuku, dia kerja dia Tangerang”
”Trus bapakmu?” tanyaku lagi
”Nggak tau ke mana?”
”Wah kita senasib ya. Ayah dan Ibuku juga pisah. Sekarang Ayahku nikah lagi di Sumatera. Tapi aku sedikit beruntung karena ayahku masih mau ngurusi sekolah ama mondokku” ucapku dengan hati yang bersyukur.” Ngomong-ngomomg, abis ini kamu mau nerusin ke mana?” aku melanjutkan pertanyaanku.
”Mungkin aku lanjut kuliah ke STAIN aja deh” ujarnya singkat.
”Ooo...gitu” aku menanggapi agak malas ketika mendengar kata ’kuliah’, teringat pada ancaman ayahku beberapa waktu lalu.
”Mad, kamu kok kayak nggak semangat sih. Ada apa?’ tanyanya padaku.
”Oh, nggak apa-apa kok” kilahku
”Udah deh aku tau kok. Cerita aja mungkin aku bisa bantu” bujuknya lagi.
Akhirnya dengan sedikit malu-malu kuceritakan tentang penantianku selama dua tahun yang harus sia-sia, dan tentang larangan kuliah dari ayahku sekaligus ancamannya. Akau masih kurang bersemangat saat ini, seakan jalanku suram tak tampak lagi oleh kabut kesedihan hatiku..
”Mad, kamu nggak usah putus asa kayak gitu dong. Inget kamu tuh cowok, laki-laki, masa lembek sih Cuma masalah ditolak cewek aja sedih banget, inget Mad jangan kamu jadikan cinta sebagai nyawamu karena kamu nggak bisa hidup tanpanya. Tapi jadikan cinta sebagai perhiasan hidupmu yang tanpanya kamu tetep bisa hidup, dan dengannya hidupmu bakal jadi lebih indah gituu. Cewek nggak Cuma satu pasti suatu saat nanti ada kok wanita yang bakal jadi jodohmu. Soal kuliah kamu jangan patah arang gitu dong, jalan masih panjang Mad, aku aja yang cuma diurusi ama ibuku masih punya semangat kok” tuturnya panjang lebar.”Yang penting kamu pikirin UN aja yang tingal berapa bulan lagi nih. Kamu juga yang banyak doanya pasti ada jalan kok, inget ’Inna ma’al’usri yusro’. Semangat dong jangan sedih lagi” lanjutnya lagi.
Oh masya Allah, aku merasa kecil sekali merasa hina, merasa lemah., ternyata masih ada yang di bawahku. Kamu masih mendingan Mad, masih ada yang lebih rendah dari kamu. Kamu punya segalanya. Hanya satu yang belum engkau miliki, yaitu kemauan dan semangat berjuang, ujarku dalam hati mencoba membangkitkan semangatku yang sempat tumbang oleh masalah cinta dan larangan orang tuaku.
”Mad, kamu denger nggak akau ngomong?’tanya Arini yang tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
”Oh ya akui denger kok, makasih ya masukannya. Aku janji deh nggak sedih lagi. Makasih ya” ucapku, agak bersemanagt dari sebelumnya.
”Ya sama-sama. Eh udah dulu ya aku masih banyak kerjaan. Ntar kita sambung lagi. Asslamualaikum”
”Ya, wa’laikumsalam”
Kini kurasakan ada angin segar yang menerpaku di tengah padang gersang, seakan merasakan sejuknya air dalam kedahagaan hatiku. Kini aku tak lagi hilang arah, kutemukan lagi jalan hidupku yang sempat hilang oleh kesdihan yang belarut-larut. Ternyata aku bukanlah manusia paling hina, paling rendah, paling lemah di dunia, karena masih ada yang di bawahku. Mungkin sudah saatnya dan memang sudah satanya aku mengamanlkan hadits rasulullah yang mengajarkan kita untuk mellihat kepada orang yang lebih rendah dari kita dalam urusan dunia dan melihat yang berada di atas kita dalam urusan ibadah. Dan inilah yang belum pernah terpikira olehku, sehingga tak heran kalau selam ini aku sering terkena penyakit hati. Bila dibandingkan aku masih beruntung orang tuaku masih memeperhatikanku, sedangkan dia Arini nasibya tak seberuntung aku. Yang jelas kini aku yakin ada jalan di balik semua maslah, karena ”Jalanmu masih panjang...Teruslah melangkah” kau pasti bisa.