20 Juli 2010

AWAL RESPECT ALABASTA

2 komentar


Waktu, apa itu waktu, mengapa harus ada waktu, bagaimana awal datangnya dan kapan pula berakhirnya. Diantara kita tentu tak ada yang tahu. Tapi bangsa-bangsa di dunia memiliki tradisi dan penyebutan tentang sang waktu. Ada Lingkar Cakra, Sang Kala, Matahari, Chronos, Titi Mongso, dan entah apa lagi penyebutannya.

Kami sekarang terlanjur memasuki lingkar putaran waktu. Sekian tahun ini kami telah menjadi aktor dan aktris yang terangkum rapi dalam sebuah liputan film dokumenter kehidupan. Sungguh sebuah sajian yang menarik, karena di dalamnya memperlihatkan beribu rasa dilematis yang terekspos dalam bentuk tawa, canda, suka, duka, benci, cinta,cemburu, bangga, dipenuhi pula dengan tangis dan haru.

Hidup kami bukan sekedar cerita tanpa makna, bukan pula syair-syair lagu para musisi, bukan pula bait-bait puisi para pujangga, melainkan kumpulan mimpi anak-anak manusia yang telah cukup lama mengarungi dunia fana, menanti beribu jawab pasti dalam usia yang tak pasti.

Tapi jawaban adalah milik hari esok.Sebuah mimpi yang mengatas namakan cita-cita. Sedang yang nyata dihadapan kita adalah hari ini. Jadi haruslah kami imbangkan neraca idealisme beserta realita dengan menjemput cita-cita dari alam fana menuju dunia nyata. Dan mimpi itu tak bakal jadi nyata bila kita tak tergerak tuk mewujudkannya.

Pondok Pesantren Darul Huda.

Tempat dimana kami bertemu dengan sebuah aliansi tingkat tinggi, mencoba mewarnai dunia kami, menggeluti hari-hari dalam cita, rasa dan karsa.Terus-menerus membongkar wacana-wacana jumud yang telah lama terpasung, menjumpai apa itu yang kami sebut dengan tanggungjawab dan menyadari bahwa makna hidup tak sekedar menghembuskan nafas, tapi kami harus terus berlari demi mengimbangi cepatnya bayang-bayang waktu tuk menghasilkan harga pada setiap detik yang kami jalani demi sebuah istilah bernama masa depan.

Puluhan musim berganti, jutaan iklim tak enggan menyapa yang mau tak mau pula kita harus mampu melewati meski langkah sering terbentur batuan jalanan, terhalang oleh kabut pagi, mendung sore, begitu pula dengan hujan badai ataupun panas terik matahari.

Inilah kami, sebuah aliansi yang mencoba menyapa dunia dengan gaya kami. Meski alam tak selamanya ramah, namun kami terus mendaki di atas tebing keyakinan bahwa badai pastilah berlalu.

Finally, thanks. Coz di tempat ini kami menemukan arti kehidupan. Sebuah hunian yang tak hanya butuh lantai-lantai cinta tapi juga butuh atap saling percaya. Keluarga tak hanya yang menanti kita di rumah tapi juga yang merasa kehilangan atas tiadanya kita.

Saat tangan saling berjabat satu sama lain keluarlah sebuah ikrar agar potret album kehidupan kami tetaplah abadi. Meski raga bertebaran di berbagai belahan bumi. Inilah literatur kehidupan kami yang tak lekang dimakan waktu yang tak pernah lelah bertutur tentang derap langkah sebuah aliansi yang bernama RESPECT Alabasta

Ponorogo, 7 Mei 2010


2 komentar:

Posting Komentar